Headlines News :
Home » » Memahami Makna Bid'ah

Memahami Makna Bid'ah

Written By Unknown on Minggu, 14 September 2014 | 01.37

Belakangan ini begitu gencar tudingan bid’ah kepada seseorang atau kelompok tertentu, terutama yang dilancarkan oleh kalangan Salafi-Wahabi.[1] Mereka selalu memandang sebagai bid’ah[2] hal-hal yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan menuduh orang-orang yang melakukannya sebagai pelaku bid’ah yang kelak akan menjadi penghuni neraka. 
Sayangnya pandangan mereka tentang bid’ah menyelisihi pandangan para ulama yang menjadi panutan mayoritas kaum Muslimin. Tudingan-tudingan bid’ah yang mereka lancarkan benar-benar menjadi fitnah di tengah umat ini, yang tak jarang menyulut perpecahan di antara sesama umat Islam. Lalu, apa sebenarnya bid’ah itu? Berikut adalah penjelasannya. 

Arti Bid’ah Secara Bahasa

Untuk memahami arti bid’ah secara bahasa, mari kita simak terlebih dahulu beberapa arti kata “bid’ah” yang terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab populer:
  1. Dalam kamus al-Muhith, Juz III hal. 3 disebutkan bahwa bid’ah adalah:
 اَلاْمَرْ ُالَّذِيْ يَكُوْنُ أَوَّلاًَ (Sesuatu barang yang pertama adanya).
2.      Dalam kamus Mukhtarus Shihah, hal. 379 disebutkan bahwa bid’ah adalah:
 اِخْتَرَعَهُ لاَ عَلَى مِثَالٍِ (Mengadakan sesuatu tidak menurut contoh).
3.      Dalam kamus al-Mu’tamad, hal. 28 disebutkan bid’ah adalah:
 اِخْتَرَعَهُ وَاَنْشَأَهُ لاَ عَلَى مِثَالٍِ (Diciptakan tanpa contoh).
4.      Dalam kamus al-Munjid,hal. 27 disebutkan bid’ah adalah:
 مَاأُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍِ سَابِقٍٍ (Menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh sebelumnya).

Dari beberapa penjelasan kamus di atas, dapat dipahami bahwa bid’ah dalam bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. 

Pengertian Bid’ah Menurut Syara’

Lalu, bagaiamana pengertian bid’ah menurut syara’? Sebelum pembahasan ini bergerak lebih jauh sampai ke sana, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa pengertian bid’ah menurut syari’at Islam tidaklah disebutkan baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Hal ini lumrah saja karena al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidaklah ditujukan untuk membuat pengertian/definisi atau ta’rif dari berbagai hal. Yang membuat pengertian bid’ah adalah para ulama setelah memperhatikan al-Qur’an, al-Hadits, Atsar para sahabat, dan lain-lain. Itulah sebabnya nanti kita akan temukan beragam pengertian bid’ah dari para ulama. 

Secara umum dan sederhana bisa dikatakan bahwa bid’ah menurut syara’ adalah sesuatu yang baru dalam urusan agama yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun untuk lebih jelasnya perihal ini mari kita simak penjelasan para ulama tentang bid’ah:

  1. Al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah
Beliau adalah seorang ulama terkemuka dalam mazahab Syafi’i. Tatkala menjelaskan pengertian bid’ah, beliau berkata:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya: “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. [3]
Menurut pengertian yang diberikan oleh al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah ini, seluruh perbuatan atau amaliah keagamaan yang belum ada dan tidak dikenal pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bid’ah, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik. Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu Mushhaf, menulis kitab-kitab hadits, membukukan berbagai kajian fiqh dan tafsir, memperingati maulid Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, khutbah dengan selain bahasa Arab, menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat, arisan haji, pengajian setiap Ahad pagi, dan berbagai macam amaliah baik lainnya adalah bid’ah. Mengapa? Karena semua hal itu belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Namun demikian beliau tidak berpandangan bahwa semua yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dianggap sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah sesat dan tercela), yang pelakunya diancam akan disiksa di dalam neraka. Beliau justru membagi bid’ah ke dalam lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah sunnat, bid’ah haram, bid’ah makruh, dan bid’ah mubah.

Mari kita simak penjelasan al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah tentang pembagian bid’ah ini serta contoh-contoh yang beliau sampaikan:

الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ اِلَى: بِدْعَةٍِ وَاجِبَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مُحَرَّمَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مَنْدُوْبَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مَكْرُوْهَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مُبَاحَةٍِ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلاِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌُ 

Artinya: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Bid’ah terbagi lima: bid’ah wajibah (bid’ah wajib), bid’ah muharramah (bid’ah haram), bid’ah mandubah (bid’ah sunnat), bid’ah makruhah (bid’ah makruh), dan bid’ah mubahah (bid’ah mubah). Jalan untuk mengetahui hal itu dengan membandingkan bid’ah pada kaidah-kaidah syari’at. Apabila bid’ah itu masuk ke dalam kaidah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk ke dalam kaidah haram, maka menjadi bid’ah muharramah. Apabila masuk ke dalam kaidah sunnat, maka menjadi bid’ah mandubah. Dan apabila masuk ke dalam kaidah mubah, maka menjadi bid’ah mubahah.”

Saat memberikan contoh-contoh yang termasuk ke dalam lima macam bid’ah tersebut, beliau berkata:
وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌُ: اَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ وَاجِبٌ ِلأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ. الْمِثَالُ الثَّانِيْ: الْكَلاَمُ فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا مَذْهَبُ اْلقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلَى هَؤُلاَءِ مٍنَ اْلبِدَعِ الْوَاجِبَةِ 
وَلِلْبِدَاعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ اِحْسَانٍِ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ. وَلِلْبِدَاعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامِ

Artinya: “Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu Nahwu sebagai sarana memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syari’at itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu Nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah. Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran Qadariyah, Jahamiyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap berbagai bid’ah tersebut termasuk bid’ah yang wajib.

Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, di antaranya adalah shalat tarawih. Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi Mushhaf al-Qur’an. Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran...” [4]

  1. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah
Beliau adalah seorang hafizh dan faqih dalam mazhab Syafi’i yang telah menghasilkan banyak karya yang hingga saat ini masih dikaji di dunia Islam. Beliau memberi pengertian bid’ah sebagai berikut:
هِيَ إِحْدَاثُ مَالَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” [5]

Selain memberikan pengertian bid’ah, beliau pun menjelaskan bahwa bid’ah itu terbagi ke dalam dua bagian. Beliau berkata:
هِيَ أَيِ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌُ إِلَى حَسَنَةٍِ وَقَبِيْحَةٍِ

Artinya: “Bid’ah terbagi menjadi dua: bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”[6]

  1. Al-Imam al-Syafi’i rahimahullah
Beliau adalah seorang mujtahid mutlaq sekaligus pendiri mazhab Syafi’i, yang diikuti oleh mayoritas kaum Ahlussunnah wal-Jama’ah. Beliau berkata tentang bid’ah:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ اِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلاَلَةِ  وَمَا اُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًَا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌُ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍِ

Artinya: “Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama sesuatu yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah bid’ah yang sesat. Kedua perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela.” [7]

Dalam riwayat lain, yakni yang berasal dari al-Imam Abu Nu’aim rahimahullah, juga disebutkan bahwa al-Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: مَحْمُوْدَةٌُ وَمَذْمُوْمَةٌُ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ، وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
 
Artinya: “Bid’ah itu terbagi dua: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, sedangkan bid’ah tercela adalah yang menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.” [8]

Kalau kita perhatikan ungkapan al-Imam al-Syafi’i rahimahullah di atas terlihat dengan jelas bahwa beliau membagi bid’ah ke dalam dua kategori: bid’ah dhalalah (bid’ah sesat/tercela) dan bid’ah hasanah (bid’ah terpuji/baik). Yang menjadi tolok ukur dalam membedakan mana bid’ah tercela dan mana bid’ah terpuji adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, Atsar para sahabat, dan Ijma’ para ulama. Jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’, maka ia tergolong bid’ah dhalalah. Sedangkan apabila ia bersesuaian dengan hal-hal tersebut, maka ia tergolong bid’ah hasanah, sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Bahkan al-Imam al-Syafi’i rahimahullah menafikan nama bid’ah terhadap sesuatu yang memiliki landasan syar’i meskipun belum pernah diamalkan pada masa salaf.

Simaklah perkataan beliau berikut ini:

كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥

Artinya: “Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”

Ketika al-Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata demikian tentunya pembaca tidak akan berpikir bahwa ucapan itu tanpa dalil. Beliau adalah seorang ulama yang pendapatnya paling banyak dianut oleh umat Islam. Namun rasanya kurang tepat bila tidak kami sertakan di sini dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat al-Imam al-Syafi’i rahimahullah saat beliau membagi bid’ah menjadi dua bagian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dalil Pertama:
Hadits yang bersumber dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
‏ ‏مَنْ ‏ ‏أَحْدَثَ ‏ ‏فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ ‏ ‏رَدٌّ
 
Artinya: “Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak.” [9]

Dalil Kedua:
Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
‏‏مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ ‏

Artinya: “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut, juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut, juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun.” [10]

Coba perhatikan hadits tersebut. Tidakkah di dalamnya terdapat kebolehan, bahkan anjuran agar setiap Muslim mengadakan (menciptakan) sunnah hasanah (perbuatan baik). Ada janji Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di dalam hadits tersebut yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang merintis perbuatan baik di dalam agama ini, lalu ada orang lain yang mengikutinya, maka ia akan memperoleh dua macam pahala: pahala karena ia telah merintis sebuah perbuatan baik dan pahala karena ada orang lain yang mengikuti perbuatan baik yang dirintisnya itu. 

Sebaliknya, yang dilarang adalah merintis (menciptakan/mengadakan) perbuatan buruk. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang melakukan hal ini dengan dua macam dosa: dosa rintisannya terhadap perbuatan buruk dan dosa karena ada orang yang mengikuti perbuatan buruknya itu. Perlu diingat bahwa sunnah hasanah dan sunnah sayyiah yang disebutkan dalam hadist tersebut tidaklah terikat hanya pada masa kehidupan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja, namun maknanya melingkupi kedua jenis perbuatan tersebut sejak ditetapkannya syari’at itu hingga saat ini dan masa yang akan datang.

Dalil Ketiga:
Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abd al-Qari radhiyallahu ‘anhu yang berkata:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اْلقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إِلَى اْلمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ اََوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍِ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ.

Artinya: “Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata, “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik.” Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” [11]

Hadits ini menjelaskan tentang ucapan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa shalat Tarawih secara berjamaah terus menerus selama bulan Ramadhan adalah bid’ah, namun tentunya bid’ah yang baik. 

Berdasarkan pada tiga hadits di atas muncullah pendapat al-Imam al-Syafi’i rahimahullah yang menegaskan bahwa bid’ah itu terbagi dua: bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Sebenarnya terdapat banyak dalil yang menudukung fatwa ini, namun bagi orang yang berakal, tiga dalil pun sudah cukup untuknya guna mengakui kebenaran fatwa tentang bid’ah yang disampaikan oleh al-Imam al-Syafi’i rahimahullah ini.
  1. Al-Imam al-Suyuthi rahimahullah
Beliau adalah seorang ulama besar di lingkungan mazhab Syafi’i yang telah menulis banyak kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara kitab karyanya adalah Tanwir al-Halik Syarah Muwatha’ Malik, Syarah Sunan Nasa’i, dan penulis dari separuh isi kitab Tafsir Jalalain. Tentang bid’ah beliau berkata:
أَصْلُ الْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍِ سَابِقٍ، وَتُطْلَقُ فِى الشَّرْعِ عَلَى مَا يُقَابِلُ السُّنَّةَ أَيْ مَالَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ

Artinya: “Maksud asal dari kata ‘bid’ah’ adalah sesuatu yang baru diadakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya. Dalam istilah syari’at, bid’ah adalah lawan dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada masa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Kemudian hukum bid’ah terbagi ke dalam hukum yang lima.” [12]
  1. Al-Imam Ibnu ‘Abd al-Barr rahimahullah
Beliau adalah seorang hafizh lagi faqih dari kalangan mazhab Maliki. Pernyataan beliau tentang bid’ah pun memperlihatkan pandangan beliau yang tidak menganggap semua bid’ah itu dhalalah. Simaklah apa yang beliau katakan:
وَأَمَّا قَوْلُ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فِيْ لِسَانِ الْعَرَبِ إِخْتِرَاعُ مَالَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ خِلاَفًا لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ بِدْعَةٌُ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍِ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيْعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ

Artinya: “Adapun ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang sudah berlaku, maka ia adalah bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi dasar syari’at dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” [13]

Perhatikanlah, dengan berlandaskan pada ucapan Umar bin Khathtab radhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan bahwa bid’ah yang terlarang, yang disifati sebagai bid’ah dhalalah, adalah bid’ah dalam agama yang menyelisihi sunnah yang telah berlaku di dalam agama ini. Bid’ah semacam ini harus ditolak, dicela, dilarang, bahkan pelakunya wajib dijauhi jika memang kesesatannya telah terbukti dengan jelas. Namun, apabila bid’ah dalam urusan agama itu tidak bertentangan dengan sunnah yang telah berlaku, maka ia adalah sebaik-baik bid’ah.
  1. Al-Imam Ibn al-‘Arabi al-Maliki rahimahullah
Beliau adalah seorang hafizh, faqih, dan mufassir besar dari mazhab Maliki. Beliau berkata dengan bid’ah:
وَقَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ: وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ الْبِدَعِ مَا خَلَفَ السُّنَّةَ وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍِ

Artinya: “Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ini sebaik-baik bid’ah.’ Bid’ah yang dicela hanyalah bid’ah yang menyalahi Sunnah. Perkara baru yang dicela adalah yang mengajak kepada kesesatan.” [14]
  1. Al-Imam Ibn al-Atsir al-Jaziri rahimahullah
Beliau adalah seorang ulama yang pakar dalam bidang hadits dan bahasa. Dengan keluasan ilmu yang dimilikinya, beliau pun menyimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu buruk, tapi juga ada yang baik. Beliau menyebutnya dengan istilah bid’ah huda dan bid’ah dhalal.  Simaklah ucapan beliau berikut ini:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةُ هُدًى وَبِدْعَةُ ضَلاَلٍِ فَمَا كَانَ فِيْ خِلاَفٍِ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ وَرَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ مِنْ حَيْزِ الذَّمِّ وَاْلإِنْكَارِ وَمَا كَانَ وَاقِعًا تَحْتَ عُمُوْمٍِ مِمَّا نَدَبَ اللهُ إِلَيْهِ وَحَضَّ عَلَيْهِ اللهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ فِيْ حَيْزِ الْمَدْحِ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثَالٌُ مَوْجُوْدٌ كَنَوْعٍِ مِنَ الْجُوْدِ وَالسَّخَاءِ وَفِعْلِ الْمَعْرُوْفِ فَهُوَ فِي اْلأَفْعَالِ الْمَحْمُوْدَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِيْ خِلاَفِ مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ 

Artinya: “Bid’ah itu terbagi dua: bid’ah huda (bid’ah yang sesuai dengan petunjuk) dan bid’ah dhalal (bid’ah sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Bid’ah yang masih termasuk di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sedangkan bid’ah yang belum pernah memiliki kesamaan seperti kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyelisihi syara’.” [15]

Melalui ucapannya ini, al-Imam al-Hafizh Ibn al-Atsir al-Jaziri rahimahullah menjelaskan kepada kita bahwa segala sesuatu yang baru, jika masih berada dalam naungan keumuman perintah Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji, sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau juga menegaskan, berbagai macam bentuk kedermawanan dan perbuatan baik yang ada saat ini, yang boleh jadi pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam amal tersebut belum dikenal, maka ia tergolong perbuatan terpuji yang tidak mungkin menyalahi hukum-hukum syara’. 



  1. Al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah
Beliau adalah seorang hafizh  lagi faqih bermazhab Syafi’i. Siapa yang tidak mengenalnya dan siapa yang tidak mengakui kedalaman dan keluasan ilmunya. Beliaulah penulis kitab Fath al-Bari yang menjadi syarah kitab Shahih Bukhari, yang hingga saat ini menjadi rujukan umat Islam. Tentang bid’ah, beliau memiliki kesamaan pandangan dengan al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah dan al-Imam al-Suyuthi rahimahullah. Simaklah ucapan beliau berikut ini:
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍِ سَابِقٍٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍِ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌُ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍِ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌُ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ

Artinya: “Dari segi bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan bagi sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila berada dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak termasuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian yang bersifat mubah. Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” [16]



  1. Al-Imam al-Shan’ani rahimahullah
Beliau adalah seorang muhaddits dan faqih, penulis kitab Subul al-Salam yang menjadi syarah bagi kitab Bulugh al-Maram. Di dalam kitab tersebut ada ungkapan beliau yang berkaitan dengan bid’ah. 

Beliau berkata:
الْبِدْعَةُ لُغَةًَ: مَا عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍِ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا: مَا عُمِلَ مِنْ دُوْنِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌُ مِنْ كِتَابٍِ وَلاَ سُنَّةٍِ وَقَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍِ: وَاجِبَةٍِ كَحِفْظِ الْعُلُوْمِ بِالتَّدْوِيْنِ وَالرَّدِّ عَلَى الْمَلاَحِدَةِ بِإِقَامَةِ اْلأَدِلَّةِ، وَمَنْدُوْبَةٍِ كَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ، وَمُبَاحَةٍِ كَالتَّوْسِعَةِ فِيْ أَلْوَانِ الطَّعَامِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ، وَمُحَرَّمَةٍِ وَمَكْرُوْهَةٍِ وَهُمَا ظَاهِرَانِ، فَقَوْلُهُ: -كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ- عَامٌّ مَخْصُوْصٌ

Artinya: Menurut bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului adanya pengakuan syara’ melalui al-Qur’an dan Sunnah. Ulama telah membagi bid’ah ke dalam lima bagian: a) Bid’ah wajib, seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil; b) Bid’ah mandubah, seperti membangun berbagai madrasah; c) bid’ah mubahah, seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah; d) bid’ah muharramah; dan e) bid’ah makruhah, sedangkan keduanya telah jelas contoh-contohnya. Dengan demikian, hadist yang berbunyi –“Semua bid’ah itu sesat”— adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.” [17]  

Nah, perhatikanlah berbagai uraian tentang bid’ah yang telah disampaikan oleh para ulama terkemuka dari setiap kurun waktu di atas. Mereka adalah para ulama pewaris ilmu-ilmu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan pemahaman yang baik tentang syari’at, dan tulisan-tulisan yang mereka tinggalkan telah menjadi rujukan untuk memahami bagaimana Islam ini yang sesungguhnya, sejak dahulu hingga saat ini, bahkan untuk masa-masa yang akan datang. 

Dengan keluasan ilmu yang mereka miliki, mereka tidak mengingkari adanya bid’ah hasanah. Mereka tidak menganggap bid’ah dhalalah semua amal kebajikan yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka menjadikan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’ sebagai tolok ukur untuk menetapkan sesuatu itu sebagai bid’ah dhalalah atau bid’ah hasanah. Segala macam hal baru di dalam agama yang tidak menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’ mereka masukkan ke dalam bagian bid’ah hasanah. Sedangkan segala hal baru yang menyelisihinya adalah bid’ah dhalalah yang harus dicela, ditentang dan pelakunya harus dijauhi. 
Lalu, bagaimana mungkin saat ini ada segelintir orang yang berani mengingkari bid’ah hasanah dan mencela para ulama yang membenarkan keberadaan bid’ah hasanah, sementara mereka bukanlah tergolong al-muhaddits, al-hafizh, al-faqih, dan berbagai gelar lainnya. Para ulama yang mengakui keberadaan bid’ah hasanah adalah orang-orang yang telah menghafal berpuluh ribu, bahkan ratusan ribu hadits lengkap dengan sanad dan  hukum matannya. Sementara mereka yang bisanya hanya mencela itu, bahkan tak memiliki hafalan sepuluh buah hadits pun, lengkap dengan sanad dan hukum matannya. Jika demikian keadaannya, pendapat siapakah yang lebih layak kita ikuti? Yang hafal ratusan ribu hadits atau yang hanya mampu mencela saja? Pikirkanlah!



[1] Tentang siapa kaum Salafi-Wahabi yang mudah menuduh bid’ah amaliah yang tidak sesuai dengan pendapat mereka ini, silakan baca buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama karya Syaikh Idahram.
[2] Tepatnya bid’ah dhalalah. Bagi mereka semua bid’ah adalah dhalalah (sesat). Pandangan mereka ini telah menyelisihi pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa bid’ah juga ada yang hasanah (baik), sebagaimana yang Insya Allah akan kami paparkan di dalam buku ini.
[3] Lihat: Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172.
[4] Penjelasan ini bisa dibaca dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/133.
[5] Lihat: Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3/22.
[6] Lihat: Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3/22.
[7] Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam Manaqib al-Syafi’i, 1/469.
[8] Lihat: Fath al-Bari, Juz 17, hal. 10.
[9] HR Imam Muslim.
[10] HR Imam Muslim.
[11] HR Imam Bukhari dan Imam Malik.
[12] Lihat: Tanwir al-Halik, Juz I, hal. 137.
[13] Lihat: al-Istidzkar, 5/152.
[14] Lihat: ‘Aridhat al-Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, 10/147.
[15] Lihat: al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, 1/267.
[16] Lihat: Fath al-Bari, 4/253.
[17] Lihat: Subul al-Salam, 2/48.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

PILIH KATEGORI BUKU

ZAHIDA PUSTAKA ON FACEBOOK

 
Support : Creating Website | Zahida Pustaka | Zahida Pustaka
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Zahida Pustaka - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Zahida Pustaka